UPACARA adat tulude dirayakan sebagai ucapan syukur atas kelimpahan berkat dari Tuhan Yang Maha Esa. Perayaan tahunan ini akan dimasukkan dalam setiap pentas budaya Kota Bitung.
Tahun ini, perayaan tulude dirayakan warga Pulau Lembeh Bitung secara meriah pada Rabu (29/02/2012). Tulude sendiri merupakan upacara adat warga kepulauan Nusa Utara atau etnis Sangihe, Talaud dan Sitaro, Siau, Tanggulandang, dan Biaro, yang merupakan salah satu penduduk asli Sulawesi Utara.
Ucapan syukur atas berkat yang berikan Tuhan, berupa hasil bumi, kesehatan, serta dijauhkannya dari malapetaka sudah berlangsung turun-temurun. Hajatan tahunan warisan nenek moyang ini terus dilestarikan warga yang umumnya mendiami kepulauan dan sudah menjadi kerifan lokal di tengah perkembangan dunia.
Warga Pulau Lembeh yang sebagian beretnis Sangihe, Talaud, dan Sitaro merayakan tulude yang dipusatkan di Gunung Woka, pemukiman tertinggi di Bitung, Kelurahan Watuwoka, Kecamatan Lembeh Utara. Perayaan dihadiri pemangku adat yang umumnya pejabat-pejabat tinggi tingkat kota, kecamatan, kelurahan, atau Tembonang u Banua, pemimpin negeri sesuai tingkatan serta tokoh-tokoh masyarakat sekitar.
Prosesi upacara tulude dimulai dengan penjemputan tamu kehormatan oleh tua-tua kampung atau pihak penyelenggara yang diarak menuju bangsal yang telah disediakan sambil diringi tari-tarian adat warga kepulauan Nusa Utara. Ritual percikan air serta doa-doa khusus yang dipanjatkan menggunakan bahasa asli Sangir yang umunya berarti ucapan syukur atas semua yang telah dilewati selama setahun oleh Tatahulending Banua atau tokoh adat. Perayaan diakhiri pemotongan kue tamo, sejenis tumpeng yang biasanya terbuat dari beras ketan berhias aneka buah, dilanjutkan makan bersama yang disebut saliwangu banua.
Tulude sendiri berarti menolak atau mendorong, dalam pengertian menolak tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru. Pada zaman dahulu, upacara adat ini dilaksanakan di tepi pantai dengan menolak sebuah perahu kecil terbuat dari kayu berisikan hasil bumi.
Oleh tokoh adat, perahu kemudian didorong atau dilepaskan ke laut yang mengartikan sesuatu yang buruk di tahun yang baru dibuang dan dibiarkan hanyut agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi di kampung pelaksanaan perayaan tulude. Sementara itu, bagi yang menemukan perahu sisa perayaan tulude ini harus segera dihayutkan kembali ke laut agar musibah tidak berpindah ke tempat dimana perahu terdampar.
Sementara itu, Wakil Walikota Bitung, Max Jonas Lomban terlihat antusias melewati setiap prosesi perayaan tulude dan berjanji akan memasukkan perayaan ini sebagai budaya adat di setiap pentas budaya Kota Bitung. Alasannya, banyak wasatawan asing berkunjung ke Pulau Lembeh sebagai tempat wisata yang lebih dikenal dengan micro diving (penyelaman untuk melihat biota unik) nomor satu di dunia.
(Rocky Oroh/Sindo TV/ftr)